Mustafa Steven Samuel Syok Saat Pertama Kali Baca Al-Quran
“Islam memberikan jawaban yang sekian puluh tahun kucari-cari. Itulah mengapa, tepat dua tahun lalu, aku mengucapkan dua kalimat syahadat,” ungkap Mustafa Samuel, nama baru Steven setelah memeluk Islam, seperti dikutip onislam.net, Rabu (9/11).
Steven lahir dan dibesarkan dalam keluarga penganut Kristen Ortodoks Yunani. Maklum, orang tuanya merupakan imigran Yunani sebelum memutuskan untuk menetap di Australia. “Aku termasuk orang yang religius. Namun, memasuki usia dewasa banyak pertanyaan yang muncul dan gereja tidak dapat menjawabnya,” ujarnya. Semenjak itu, Steven tidak lagi mendatangi gereja. Baginya, dogma gereja tidak cocok dengan sikap kritisnya terhadap agama. “Aku selalu mempertanyakan sesuatu termasuk soal agama,” kata dia.
Masa Pencarian
Proses pencarian itu dimulai saat ia memutuskan pindah dari Sydney ke Queensland. Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya di era 1990-an, masa dimana ia benar-benar serius mencari tahu tentang banyak hal. Menurut Steven, Sydney bukanlah kota yang cocok untuknya. “Aku bekerja di sebuah bar. Di tempat ini, aku melihat langsung manusia-manusia dengan perilaku binatang,” ungkapnya.
Setelah pindah ke Queensland, Steven berusaha mencari kebenaran yang ia inginkan, dan berdoa pada Tuhan agar menunjukkan kebenaran itu, dan ia akan menerimanya. Di Queensland, Steven mencari jawaban atas pertanyaanya. Ia mulai mengikuti beragam aliran Kristen. Namun, tetap saja ia tidak puas dengan jawaban mereka. Ia hanya ingin tahu mengapa dan untuk apa ia hidup di dunia.
“Selama masa itu, saya ikut jamaah Mormon, Saksi Yehovah dan jamaah beragam aliran agama Kristen untuk menemukan kebenaran yang saya cari. Tapi saya tidak pernah bisa mendapatkan jawaban yang saya inginkan, ‘mengapa saya di sini?’, ‘apa tujuan keberadaan saya?’” tutur Steven.
Tak lama, tragedi 11 September 2001 terjadi. Peristiwa serangan di AS tersebut menjadi titik balik pencarian Steven. Steven yang saat itu tidak pernah mendengar tentang Islam merasa terkejut. “Apa Islam itu,” tanyanya singkat. Selama ini, di tengah pencariannya akan kebenaran, Steven tidak pernah melirik ajaran Islam, dan ia tidak tahu sama sekali tentang Islam.
Dua tahun mempelajari al-Quran
Selama ini, Steven nyaris tidak pernah berinteraksi dengan seorang Muslim. Ia pun mengaku bingung dengan perbincangan banyak orang tentang Islam. “Aku tidak tahu mengapa seluruh dunia berniat melawan Muslim. Aku pikir Islam mungkin merupakan pihak yang benar sehingga harus disingkirkan,” kata dia. Empat tahun berselang, Steven berkesempatan keliling dunia bersama sang pacar. Ia selanjutnya singgah di Dubai, Uni Emirat Arab. Saat itu, ia kembali berpikir tentang Islam. Sebab, selama di Australia ia belum mendapatkan informasi secuil pun tentang Islam.
Ada satu hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Ia melihat sebuah masjid saat hendak mengunjungi museum yang tak jauh dari masjid tersebut. Steven kemudian masuk ke dalam, sembari melihat orang-orang tengah menjalani semacam ritual (shalat Jum’at).
Hidayah Quran dan Islam
Singkat cerita, Steven pun kembali ke Australia. Sesampainya di rumah, ia memutuskan untuk membeli mushaf Alquran terjemahan Inggris. “Aku memang lambat dalam membaca. Butuh waktu dua tahun untuk membaca Alquran,” tuturnya. Bahkan ia baca dalam kurun waktu 2,5 tahun. Steven mengaku syok, saat membaca isi terjemahan Quran.
Saat membaca sampai habis, ia terkejut dengan kisah Yesus dalam Alquran. Tak kalah mengejutkan, ia juga mendapati kisah Nabi Nuh dan Nabi Musa ada dalam Alquran. Yang paling menarik dalam temuan Steven, Islam tidak mengajarkan apa yang dilakukan ekstrimis atau teroris. “Aku kian tertarik dengan Islam. Karena itu, aku baca ulang kembali Alquran,” kenangnya.
Berharap mati syahid
Tahun 2008, keyakinan Steven untuk memeluk Islam kian tinggi. Sayang, ia mengalami kesulitan untuk menemukan seorang Muslim yang dapat membimbingnya memeluk Islam. Ia mengontak sebuah masjid, mengirim surat elektronik, dan meminta dikirimkan Al-Quran. Tapi tak ada yang menjawab suratnya. Ia jadi berpikir, “Baiklah, mungkin Allah tidak menginginkan saya menjadi seorang muslim” dan ini membuatnya agak panik. Akhirnya, ia mendatangi sebuah masjid. “Saat itu, aku bertanya apakah masjid memiliki salinan Quran? Karena pada tahap ini aku butuh seseorang untuk membantu,” ujarnya.
Setahun kemudian, pada 2009, Steven harus kembali Sydney untuk menjahit pakaian. Saat itulah ia bertemu Samir, seorang penjahit yang beragama Islam. Ia sempat mengira Samir seorang Kristen lantaran tidak memiliki janggut. Setelah berinteraksi dengan Samir, Steven mulai shalat. Ia hanya mengandalkan internet untuk mengunduh panduan shalat. Ia juga berhenti mengkonsumsi alkohol dan daging babi. “Aku pernah dikirimkan makanan oleh Samir. Aku bertanya padanya, apakah ini halal? Samir pun mengiyakan.”
Tak lama, Steven pun memutuskan memeluk Islam. Ia dibimbing oleh adik ipar Samir. “Akhirnya, aku menjadi seorang Muslim. Saya merasa sangat-sangat bahagia, dan sejak itu saya tidak pernah lagi menengok ke belakang,” tukas Steven alias Mustafa Samuel. Setelah ini, aku ingin mati syahid,” harapnya. Keputusan Steven memeluk Islam disambut positif oleh keluarga. Ibunya bahkan bertanya dengan santun soal keyakinan barunya. “Ia menerima dengan terbuka terkait alasanku memeluk Islam. Sementara ayah, tidak berkomentar banyak. Baginya, kondisiku baik-baik saja sudah lebih dari cukup,” paparnya. Namun, penolakan datang dari sejumlah kerabat dekat. Sepupunya bahkan enggan berbicara dengannya. Namun, kemantapan hati Steven membuatnya mudah untuk beradaptasi. “Aku tidak khawatir dengan apa yang dipikirkan orang. Aku hanya peduli pada Allah SWT,” tegasnya.
Jalan hidup yang berubah
Steven merasakan perubahan besar dalam dirinya setelah menjadi seorang muslim. “Islam membuat saya lebih disiplin dengan kewajiban salat lima waktu, wudhu, menahan lapar saat Ramadan, menahan diri untuk tidak makan daging babi dan minum minuman keras. Islam mengubah semuanya, mengubah keseluruhan dinamika kehidupan saya. Saya jadi lebih tenang, tidak mudah marah, lebih seimbang dalam berpikir, jika dulu saya gampang emosi, sekarang saya lebih rileks. Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang sabar. Saya sangat bahagia memeluk Islam karena Islam memberikan saya banyak kebaikan yang tidak saya miliki sebelumnya,” papar Steven.
Ia pun mampu menjawab setiap pertanyaan tentang Islam yang diajukan padanya. Kendati tak sedikit orang yang mengolok-olok soal identitas keislamannya, ia tetap meladeni mereka dengan sabar. “Ketika anda bertemu orang-orang yang memiliki sikap negatif terhadap Islam. Anda sebaiknya menjelaskan Islam dengan sebenar-benarnya,” ia menyarankan.
Bagi Steven, Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai Australia. Sebaliknya, Islam memiliki nilai-nilai yang sama dengan apa yang dilakukan masyarakat Australia. “Kita menghormati orang tua, kita juga diminta mematuhi hukum. Jelas, nilai Islam dan Australia berjalan beriringan,” katanya.
Yang membedakan, lanjut dia, adalah cara hidup di Australia seperti minum, judi dan penekanan aspek moral yang tidak terdapat dalam Islam.
0 komentar:
Posting Komentar