Kaum Salaf "Tidak Ingin Terkenal"
Sebagaimana banyak orang saleh terdahulu, demikian juga tokoh agung Ibnul Mubarak ini yang lebih senang kondisinya tidak terkenal dan tidak menganggapnya sebagai masalah. Sementara sekarang ini, ribuan cara dan sensasi digunakan hanya karena ingin mendapatkan label terkenal, sensasional ataupun fenomenal.
Tradisi tidak ingin populer demi menjaga keikhlasan amal, memang begitu kuat di kalangan kaum assalafussaleh. Mereka tak peduli dengan gemerlap dunia dan mobilitas manusia yang berkelas sekalipun. Karena mereka lebih sibuk mengasah batinnya di hadapan Ilahi. Sebab, di sanalah sumber dari segala ketenangan dan ketenteraman hati.
Ibnu Atha’illah as-Sakandari, dalam kumpulan larik puitis tasawufnya yang terkenal, al-Hikam, menulis:
"Idfan wujudaka fil ardhil-khumul, fama nabata mimma lam yudfan la yatimmu natajuhu" (Tanamlah wujudmu dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, hasilnya tidaklah sempurna).
Tentu mereka juga tidak antisosial, karena justru dengan berinteraksi bersama manusia lain itulah, pesan-pesan Ilahi bisa disampaikan kepada mereka. Tapi mereka sama sekali tidak bangga dengan sanjungan manusia, karena bukan itu tujuan mereka.
Dan jika sebaliknya yang terjadi, yakni senang dengan pujian mereka, hal itu menjadi petaka baginya.
“Al-isti’nasu bin-nas, min alamatil-iflas", (merasa nyaman dan senang bersama (pujian) manusia, adalah sebagian dari tanda kebangkrutan).
Bertumpu hanya kepada diri sendiri dan bukan kepada ketokohan, adalah pelajaran lain yang mungkin nyaris punah dari kita. Fenomena yang terjadi di lingkungan kita, ketika kita mengurus suatu perkara tertentu, kita sering sekali dihadapkan oleh tembok birokrasi yang begitu kokoh bahkan tidak memperoleh kejelasan perihal urusannya.
Tapi begitu yang datang seorang yang ditokohkan, serta merta hal itu memutuskan jalur antrian yang panjang sekalipun, mengabaikan profesionalisme dan keahlian sehebat apa pun, sehingga publik pun sering mengandalkan tokoh tertentu untuk memperlancar urusannya. Karena memang sistemlah yang membentuk demikian.
Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa tabi’in. Misalnya apa yang terjadi dengan tokoh besar di kalangan tabi’in, yaitu Ibnu Muhairiz. Basyir bin Saleh bertutur; Ibnu Muhairiz datang ke sebuah kedai dengan membawa satu daniq (seperenam dirham). Dia ingin membeli sebuah baju. Kemudian seseorang berkata kepada pemilik toko, “Ini adalah Ibnu Muhairiz, berikanlah penjualan terbaik.” Ibnu Muhairiz marah, ia pun segera keluar, seraya berkata, “Saya membeli dengan harta saya, bukan dengan agama saya.”
0 komentar:
Posting Komentar