Menurut wikipedia, puputan adalah tradisi masyarakat di Bali,
Indonesia yang berupa tindakan perlawanan bersenjata habis-habisan
sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah ini berasal dari kata
“puput” yang artinya “tanggal” / “putus” / “habis / “mati”. Puputan
berarti perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang
ada dari semua kasta sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan
jiwa dan raga sampai titik darah penghabisan.
Tradisi puputan tidak hanya berlaku bagi pimpinan (dalam hal ini
raja) dan prajurit angkatan perangnya saja, tetapi berlaku bagi seluruh
rakyat yang berada di seluruh wilayah kerajaan bersangkutan. Bagi mereka
yang sudah dinyatakan cukup umur, wajib ikut berperang. Laki-laki atau
wanita, semuanya akan bergabung untuk membela tanah kelahiran mereka
dari ancaman pihak yang dianggap telah menginjak-injak harga diri dan
kehormatan masyarakat.
Bagi masyarakat yang tidak mau terlibat dalam perang puputan
diharapkan pergi sejauh mungkin dari wilayah bersangkutan, sebelum
perang dimulai. Namun biasanya tidak banyak warga yang mau menempuh
jalan ini, sebagian besar dari mereka akan membela tanah kelahirannya,
meskipun mereka tahu pasti akan gugur di medan perang. Setelah perang
puputan selesai, daerah bersangkutan akan menjadi tanah tak bertuan.
Sebelum berangkat ke medan perang, setiap orang diharuskan melakukan
persembahyangan di pura keluarga (Pura Pemerajan) untuk mohon diri
(Mapamit), pergi ke alam keabadian. Mereka sangat menyadari peta
kekuatan musuh tidak mungkin tertandingi. Itulah sebabnya diumumkan
perang puputan. Tetapi mereka adalah patriot yang tentu juga akan banyak
membunuh musuh, karena semangat yang berani mati yang sudah tertanam
dalam jiwa mereka.
Melawan Penjajah
Perang puputan dalam catatan sejarah hanya terjadi pada masa
penjajahan Belanda. Sebelumnya, meskipun sering terdengar peperang
diantara kerajaan-kerajaan yang ada, belum terdengar adanya perang
puputan. Ini disebabkan oleh etika peperangan masih dijunjung tinggi
oleh para pihak yang bertikai. Selain itu persenjataan yang dipergunakan
kedua belah pihak berimbang. Biasanya setelah perang usai, pemimpin dan
prajurit yang setia akan mengasingkan diri ke tempat yang agak jauh
dari ibukota kerajaan. Rakyat yang kalah pun akan diperlakukan sama
seperti rakyat yang memengkan perang dan mereka akan diadopsi sebagai
warga kerajaan yang menang perang.
Berbeda dengan pada masa penjajahan Belanda, rakyat Bali harus
berhadapan dengan tentara belanda yang telah dipersenjatai dengan
senjata modern, seperti senapan, meriam bahkan tank-tank lapis baja.
Sementara prajurit kerajaan serta rakyatnya hanya dipersenjatai keris,
tombak bahkan bambu runcing. Rakyat Bali tentu sangat menyadari akan
kalah berperang melawan pasukan Belanda. Tetapi kondisi ini tidak
membuat rakyat Bali takluk dan menyerah kepada Belanda. Berperang adalah
pilihan satu-satunya dan gugur di medan perang adalah hasilnya yang
pasti.
Perang Puputan Yang Pernah Terjadi
Di Bali sejarah mencatat terjadi lima kali perang puputan. Kesemuanya
merupakan perlawanan heroik rakyat Bali terhadap penjajah Belanda.
Sejarah perang puputan pertama kali terjadi pada tahun 1846 dan terkahir
kali terjadi pada tahun 1946.
1. Puputan Jagaraga
Pada tahun 1846, Anak Agung Jelantik penguasa daerah Den Bukit,
sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Buleleng memutuskan untuk
melakukan perang puputan. Perang ini dipicu oleh politik tawan karang
(menahan seluruh kapal asing yang masuk ke dermaga pelabuhan Buleleng –
Bali Utara) yang diberlakukan Kerajaan Den Bukit tidak diterima oleh
pihak Belanda yang mencoba masuk ke wilayah Den Bukit. Karena
dipersenjatai peralatan perang modern yang lengkap, termasuk kapal laut,
kapal udara, mobil perang beserta senapan-senapan apinya, maka Belanda
secara membabi buta menyerang wilayah Den Bukit mulai dari pesisir
Buleleng sampai ke kota kerajaan di desa Jagaraga.
Dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya
adalah van Swieten, Kerajaan Buleleng diserang dari segala tempat,
udara, laut dan darat. Namun rakyat Den Bukit tidak menyerah menghadapi
serangan yang sangat tidak berimbang ini. Raja Den Bukit pun mengumumkan
kepada rakyat, pasukan perang dan kerabat istana untuk menghadapi
Belanda sampai titik darah penghabisan. Akhirnya Den Bukit pun jatuh ke
tangan Kolonial Belanda, namun atas desakan rakyat, Anak Agung Jelantik
dan beberapa sesepuh Kerajaan Den Bukit berhasil diloloskan ke wilayah
Kerajaan Karangasem untuk meminta perlindungan dan menyusun kekuatan
untuk kembali menghadapi pasukan Belanda.
2. Puputan Kusamba
Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1849, Belanda berusaha menduduki
wilayah Bali Timur. Pasukan ingin menguasai wilayah Kerajaan Klungkung
yang merupakan kerajaan tertinggi di Bali saat itu. Dengan menguasai
Kerajaan Klungkung, berarti wilayah Bali secara keseluruhan akan dibawah
kekuasaan penjajah Belanda. Namun rencana ini tercium oleh rakyat desa
Kusamba yang merupakan benteng kekuatan Kerajaan Klungkung. Rakyat
Kusamba yang didukung penuh oleh atasannya menyatakan akan menghadapi
belanda secara perang puputan.
Pada tanggal 25 Mei 1849, tampil lah Ida I Dewa Istri Kanya, seorang
perempuan Bali memimpin perang puputan yang dikenal dengan Puputan
Kusamba tersebut. Saat itu pasukan Belanda dipimpin oleh Let. Jen.
Michiels. Berbeda dengan perang puputan lainnya, kali ini Klungkung
memenangkan perang dengan terbunuhnya Micheils di medan perang.
Kekalahan ini tentu saja membuat pihak Belanda sangat malu.
3. Puputan Badung
Setelah hampir setengah abat tidak terdengar adanya perang puputan di
Bali, tiba-tiba pada tanggal 20 September 1906, tiga kerajaan yakni
Puri Kesiman, Puri Denpasar dan Puri Pemecutan mengumumkan perang
puputan melawan kolonial Belanda yang berkedudukan di Batavia. Perang
ini dipicu oleh taktik licik pihak kolonial Belanda yang menuduh rakyat
Sanur mencuri barang-barang milik saudagar Cina yang diangkut oleh kapal
Sri Komala berbendera Belanda yang terdampar di pantai Sanur pada tahun
1904. Kwee Tek Tjiang, pemilik barang telah membuat laporan palsu
kepada utusan raja dan menyatakan rakyat telah mencuri 3.700 ringgit
uang perak serta 2.300 uang kepeng. Laporan tanpa bukti itu tentu saja
tidak dipercaya oleh utusan raja.
Karena utusan raja tidak mempercayai laporan palsu tersebut, pihak
kolonial Belanda mengeluarkan ultimatun yakni mendenda Raja Badung, I
Gusti Ngurah Denpasar (Badung merupakan otoritas tiga kerajaan, yakni
Kesiman, Denpasar dan Pemecutan) sebesar 3.000 ringgit (7.500 gulden).
Jika Raja Badung tidak mau membayar denda sampai batas tanggal yang
ditentukan 9 Januari 1905, maka wilayah Badung akan diserang secara
militer oleh pihak kolonial Belanda. Karena rakyat Badung tidak
bersalah, maka tantangan tersebut diladeni dengan perlawanan.
Maka pecahlah Puputan Badung dengan korban gugur di pihak rakyat
mencapai 7.000 orang, termasuk para raja dan kerabat istana serta para
pahlawan dari ketiga puri, Kesiman, Denpasar dan Pemecutan. Pasukan
Belanda dipimpin Rost Van Toningen, berhasil menduduki wilayah Badung.
Namun para wartawan perang yang dibawa pihak Belanda melaporkan bahwa
Puputan Badung ini merupakan pembantaian massal yang dilakukan militer
Belanda terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata.
4. Puputan Klungkung
Dua tahun setelah Puputan Badung, tanggal 28 April 1908 kembali
terjadi perang puputan melawan kolonial Belanda. Perang puputan yang
dikenal dengan Puputan Klungkung ini merupakan perang puputan terakhir
masa kerajaan di Bali. Perang yang menandai jatuhnya seluruh wilayah
Bali ke tangan belanda ini dipicu oleh kesewenang-wenangan Belanda dalam
membuat peraturan yang tentu merugikan rakyat Bali. Di pihak Klungkung
dipimpin oleh Raja Klungkung Ida I Dewa Agung Jambe, yang sekaligus
gugur dalam peperangan.
Kemenangan Belanda kali ini merupakan obat penawar sakit hati yang
harus diterima Belanda ketika menggempur wilayah Klungkung di Desa
kusamba sekitar setengah abad sebelumnya.
5. Puputan Margarana
Setelah Indonesia merdeka, pada masa-masa perang kemerdekaan kembali
terjadi perang puputan di wilayah Kabupaten Tabanan. Adalah Desa Marga,
Kecamatan Marga, menjadi tempat bersejarah yang menandai bagaimana
rakyat Indonesia, khususnya rakyat Bali gigih menentang segala bentuk
penjajahan. Di tempat pertempuran secara puputan terakhir ini, kini
ditandai dengan situs candi yang dikenal dengan Candi Margarana. Marga
adalah tempat kejadiannya, sedangkan rana berarti perang atau
pertempuran.
Pada tanggal 20 November 1946, terjadi pertempuran habis-habisan
antara pasukan Ciung Wanara dibawah pimpinan Let. Kol. I Gusti Ngurah
Rai melawan pasukan NICA (pasukan yang dibonceng penjajah Belanda).
Pertempuran sengit diatas kebun jagung di Banjar Kelaci itu membuat I
Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya gugur dalam membela tanah
air, NKRI
Senin, 03 November 2014
Perang Puputan
21.07
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar